Belajar Banyak Hal Meski Terbatas
Hikmah di Balik Corona
Saat pergantian tahun
diakhir bulan Desember 2019, penduduk dunia memanjatkan harapan-harapan indah
yang tak terhitung banyaknya, bahkan mungkin hampir mengoyak lapisan ozon bumi.
Seluruh alam ciptaan khususnya manusia melantunkan narasi-narasi masa depan
serta asa yang ingin digapai dan digenggam di tahun yang baru yakni tahun 2020.
Aku pun tak ingin ketinggalan momen berahmat itu. Aku melantunkan narasi serta
puisi tentang pengalaman hidup di tahun 2019 serta mimpi yang ingin kugapai di
tahun baru nanti. Fantasi dan imajinasi mulai beradu, memainkan skenario masa
depan. Aku seperti sutradara tunggal atas pikiran sendiri.
Hawa baru pun datang di awal bulan Januari, di tahun baru
yakni tahun 2020. Aroma yang tercium tahun ini tidak sesegar tahun tahun yang
telah mendahuluinya. Angin membisikkan realita ke setiap gemercikan air, ke
dedaunan yang bergoyang dan pohon pohon yang bergesekan seolah olah hendak
mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain, yang datang tak diundang untuk bertamu
di ruang kehidupan manusia. Para ilmuwan, orang-orang hebat dan para pemikir
memberi nama “CORONA”, nama yang cukup manis untuk didengar. Ya dialah
lingkaran. Lingkaran yang merong-rong dan menggerogoti tanpa ampun serta
melumpuhkan sel sel sehat manusia. Jenis satu ini tentu bukan jenis hewan juga
bukan manusia. Tetapi seperti bola tenis meja alias virus yang berbentuk bulat
dan kiranya ia menjadi virus terkudus sepanjang sejarah hidup manusia, karena
ia memiliki pucuk pucuk runcing bagaikan mahkota ratu sejagad.
Kehadirannya yang tak pernah terpikirkan, tak terduga,
tak diinginkan bahkan tak diharapkan menjadi mimpi buruk bagi dunia. Narasi-narasi
yang tak pernah dibangga -banggakan manusia, berhamburan terkoyak-koyak dan
menjadi puing-puing kehancuran namun kemenangan bagi corona. Hatiku miris,
pedih, seakan tersayat-sayat oeh berita tentang corona yang semakin hangat
dibicarakan dunia. Corona menulis kematian di penjuru jagat dengan begitu
dingin dan arogan. Mobilitas hidup masyarakat mulai menukik tak terarah seakan
melawan arah jarum jam. Masyarakat dipaksa harus melakukan isolasi diri dari
orang-orang sekitar serta membangun koloni sendiri-sendiri. Berbagai aktivitas
profan dan sakral terpaksa memasuki ruang jeda termasuk peribadatan agama. Tak
terkecuali kehidupan dalam biara dan juga berimbas di rumah pembinaan ini. Di mana
satu dengan yang lain harus menjaga jarak, tidak boleh berjabat tangan, tidak
boleh berkerumun, rajin cuci tangan, menggunakan masker, menjaga kebersihan,
harus ini harus itu dan masih banyak lagi yang mesti dihindari agar penyebaran
virus ini tidak merajalela. Peristiwa-peristiwa naas yang kudengar setiap hari,
membayang-bayangi pikiranku. Cerita corona yang brutal itu mulai memainkan
skenarionya. Di tengah alun-alun pikiran itu, terlintas gambar keluargaku.
Apakah mereka baik baik saja? Bagaimana mereka menghadapi peristiwa ini? Mampukah
mereka mengisolasi diri? Mampukah mereka mengikuti protokol pemerintah dengan
baik? Pikiranku terasa kalut. Aku sedih, menangis, hati ini perih sekali, seakan tak
percaya realita ini bisa terjadi. Hati dan perasaanku semakin hancur ketika
diumumkan bahwa tidak ada perayaan ekaristi di Gereja maupun di komunitas.
Mendengar ini bibir menjadi kelu, otak serasa berhenti bekerja, afeksiku tak
mampu lagi mengirim perintah ke dalam motorikku bahkan motorikku berhenti
menerima sinyal kehancuran dan kesedihan hati ini.
Bagaikan petir di siang bolong. Bagaimana mungkin ini terjadi?
Dimanakah Tuhan saat ini? Tidakkah ia melihat perhitungan ini? Mengapa Ia diam
tidak menolong sedikit pun? Bahkan sekarang Ia membiarkan kami tak bisa
mengikuti perayaan ekaristi dan kursus bina awal yang sedang berlangsung dan terpaksa
diberhentikan karena virus corona. Aku mulai menjadi hakim antara Tuhan dan
kenyataan pahit ini. Aku kehilangan semangat, tak ada lagi emosi kecuali
ketidakberdayaan menerima kenyataan. Aku semakin terluka ketika diberitakan
setiap hari jumlah korban sekian, kasus sekian, jumlah orang sembuh sekian
dan meninggal sekian. Dalam kesempatan
bimbingan pribadi, aku mensharingkan bahwa merasa kehilangan sesuatu berharga
dalam hidupku yakni perayaan ekaristi. Semangatku hilang ditelan oleh isu-isu
corona yang semakin buas. Dada ini sesak rasanya ingin berteriak tapi untungnya
aku masih sadarkan diri. Protesku kepada Tuhan kuluapkan melalui air mata yang
tak bisa dibendung lagi. Rasanya Tuhan
begitu jauh sekali, aku sungguh benci keadaan ini. Gara-gara corona
semua berubah total.
Saat fajar menyingsing di pagi hari dan bunyi gong yang
terdengar dengan sangat kerasnya, aku bangun dan selalu berharap semoga ada
berita bahwa corona telah lenyap dari muka bumi. Tetapi rasanya tak kunjung
terkabulkan bahkan keanehan corona semakin membuat telinga memerah. Jika ada
yang terpaksa keluar rumah, entah belanja atau mengurus sesuatu, pulangnya
harus mandi agar tidak membawa bibit
penyakit dari luar. Setiap anggota komunitas pasti selalu merasa was-was karena
bisa saja menularkan virus ini, bahkan setiap tatapan dimaknai sebagai pembawa petaka . Inilah yang
disebut kecurigaan komunal, bahkan aku sendiri menjadi paranoid.
Penolakan dan protes yang terjadi membuat aku tak berdaya. Peristiwa ini adalah sebuah misteri kehidupan yang tak mampu dijelaskan oleh akal budi manusia kalau corona merayakan kemenangannya setiap hari, mengapa aku harus takut juga untuk merayakan kehidupanku sebagai orang merdeka? Seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan new normal ini meskipun corona adalah musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi, namun kehadirannya telah menyadarkanku untuk menjadi orang yang konserfatif (menerima kenyataan dengan pasrah, berdoa dan memperbaharui hidup) dan juga moderat (meyakini kejadian ini sebagai keniscayaan hukum dan mencapai keseimbangan hidup, agar belajar untuk mencintai hidup, tidak membuang sampah semabarangan, menjaga kebersihan dan pentingnya solidaritas kepada sesama) Aku percaya setiap peristiwa melahirkan perubahan menuju kebaikan, asalkan aku menyadari, menerima, mengolah dan mau berubah. Aku harus menjadi orang merdeka tanpa harus takut terhadap corona yang dapat mengombang-ambingkan dan mereduksi semangatku untuk menjalani dan merayakan hidup setiap hari tetapi tentunya mesti mawas diri terhadap unsur ini. Sebab ia mencari ruang di mana ada kelengahan serta daya tahan yang ambrol (runtuh). Maka pelajaran pertama yang dapat kupetik dari peristiwa ini yakni tetap percaya pada penyelenggaraan Tuhan bahwa segala sesuatunya pasti ada hikmahnya, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan rasa solidaritas dan tetap berusaha bersemangat menjalani hidup sebagai orang merdeka.
by: Sr. Clara (Novis ADM tahun pertama)
Kategori: SERBA-SERBI ADM