Semakin Masuk ke Dalam dan Ambil Bagian
Eklesiologi
Kalau beberapa waktu lalu kita sudah pernah membaca sharing pengalaman panggilan Fr. Mikael, SJ yang hampir sebagian besar perjalanan studinya ditempuh di sekolah-sekolah yang dikelola oleh para suster ADM, kini Fr. Mikael SJ juga hendak berbagi pengalamannya secara lebih detail tentang bagaimana hidup dan perutusan di mana pun ia berada selalu dijiwai oleh semangat yang satu dan sama yakni Yesus Kristus sendiri. Mari kita simak bersama pengalaman inspiratif Fr. Mikael, SJ.
Dalam sejarahnya, kehidupan menggereja saya terus mengalami perkembangan sejak saya pertama kali mengenal istilah gereja dalam arti bangunan hingga Gereja sebagai paguyuban umat beriman Allah. Diawali dari keluarga yang pertama kali mengenalkan saya pada Gereja, semakin hari saya semakin tergerak untuk semakin masuk ke dalam tubuh Gereja dan ambil bagian di dalamnya. Sebagai anggota Gereja, tidak mungkin saya hanya berdiam diri di dalamnya, tanpa ikut berpartisipasi. Seandainya saya hanya berdiam diri, para anggota Gereja yang lain pasti akan menyapa dan mengajak saya untuk berdinamika bersama di dalam tubuh Gereja. Berikut ini merupakan refleksi perjalanan saya dalam hidup menggereja mulai dari bagian terkecil menuju ke bagian besar lainnya yang masih berada dalam suatu kesatuan.
1. Arti Sebuah Nama
Salah satu bagian dari diri saya yang saya kagumi dan banggakan adalah nama saya sendiri. Nama saya adalah Mikael Tri Karitasanto. Itu merupakan nama pemberian dari bapak saya. Di balik pemberian nama itu, bapak saya memiliki sebuah harapan dan doa untuk diri saya.
“Mikael” merupakan nama salah satu malaikat agung dalam tradisi agama katolik. Dalam Kitab Daniel, tertulis “Pada waktu itu juga akan muncul Mikael, pemimpin besar itu, yang akan mendampingi anak-anak bangsamu, …”[1].. Kemudian dalam Kitab Wahyu pun tertulis “Maka timbullah peperangan di surga. Mikael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya.”[2]. Berdasarkan penggalan 2 kitab itu, dapat dimengerti bahwa bapak saya memiliki harapan agar saya dapat meneladan Malaikat Mikael yang berjiwa pemimpin dengan berpihak pada Allah.
Mikael merupakan nama baptis yang dipilih bapak saya untuk menjadi pelindung saya. Pada waktu itu, sebagai seorang bayi, saya tidak memiliki kebebasan untuk memilih nama baptis. Ketika akan menerima Sakramen Krisma, dengan sadar dan rasa bangga serta bahagia, saya memilih sendiri nama Mikael sebagai nama krisma saya.
Kata “Tri” disematkan dalam nama saya sebagai tanda bahwa saya merupakan anak ketiga. Sedangkan “Karitasanto” merupakan gabungan dari 2 kata dalam Bahasa Latin, (Caritas dan Sanctus). Caritas berarti cinta kasih, dan sanctus berarti kudus / suci. Dengan demikian, “karitasanto” memiliki makna cinta kasih yang suci.
Berdasarkan penjelasan arti nama itu, bapak saya memiliki harapan agar dalam menjalani hidup ini, saya dapat memiliki jiwa sebagai seorang pemimpin yang senantiasa mewartakan cinta kasih Allah yang suci. Hingga saat ini, arti nama saya ini sungguh menjadi semangat tersendiri bagi saya. Setiap kali merenungkan nama itu, saya merasa seperti memiliki suatu relasi yang kuat dengan Malaikat Mikael dan Allah sendiri.
2. Keluarga sebagai Gereja Kecil
Saya lahir dalam suatu keluarga Katolik. Kedua orang tua saya menjadi Katolik sejak usia dini. Mereka pun menikah secara Katolik. Maka dari itu, sejak kecil saya dididik secara Katolik. Saya dibaptis ketika berumur belum genap 2 minggu di Gereja St. Yohanes Rasul, Kutoarjo, oleh Rm. Al. Y. Sukirdi, MSC. Saya lalu menerima Sakramen Penguatan pada usia 14 tahun di Gereja St. Yohanes Maria Vianney, Kebumen, dari Mgr. Julianus Sunarka, SJ. Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga saya memiliki peran penting atas kekatolikan dalam diri saya, serta kakak dan adik saya. Faktor warisan iman keluarga dan perkawinan merupakan alasan kuat mengapa orang menjadi Katolik.[3]
Sebagai keluarga Katolik, kami sekeluarga rutin mengikuti misa setiap Hari Minggu di gereja secara bersama-sama. Kami berangkat bersama dan duduk di deretan bangku yang sama dalam gedung gereja. Kebersamaan dalam menjalin relasi dengan Allah menjadi ciri khas yang dihidupi oleh keluarga saya. Setidaknya hingga saya duduk di bangku SMA, tradisi keluarga untuk misa bersama itu selalu ada. Ketika saya menjalani kuliah di Yogyakarta, beberapa kali saya “absen” untuk mengikuti misa bersama keluarga karena tidak setiap minggu saya pulang ke Kebumen, kampung halaman saya.
Keluarga saya selalu memberi perhatian khusus pada hari-hari tertentu yang dirayakan oleh Gereja, seperti Natal dan Paskah. Setiap kali Natal dan Paskah, ibu saya selalu memasak masakan yang enak dalam jumlah banyak. Selain untuk dimakan oleh keluarga sendiri, masakan itu juga dibagikan ke para tetangga kami. Dari tradisi keluarga saya itulah saya memaknai bahwa Natal dan Paskah menjadi kesempatan bagi saya untuk berbagi cinta kasih kepada siapa saja di sekitar kita. Ini selaras dengan kekhasan orang Katolik yang terletak pada ajaran dasar yang dihidupinya, yaitu cinta kasih.[4]
Dari pengalaman-pengalaman yang saya alami dalam keluarga, saya merasa terkonfirmasi dengan adanya istilah keluarga sebagai Gereja kecil. Keluarga sebagai Gereja kecil sungguh menjadi tempat yang baik bagi saya untuk mengalami kehangatan cinta yang tidak mementingkan diri sendiri. Ini merupakan panggilan khas keluarga Kristen yang menjadi persekutuan yang menguduskan, dimana orang belajar menghayati kelemahlembutan, kasih sayang, kedamaian, dan ketulusan hati.
3. Wujud Gereja di Tengah Perbedaan
Di Kebumen, keluarga saya tinggal di sebuah desa dimana keluarga kami merupakan satu-satunya keluarga Katolik di desa itu. Ada 2 keluarga yang merupakan jemaat Gereja Bethel Indonesia di desa saya. Selebihnya, para warga desa saya merupakan umat Islam. Dengan begitu, keluarga saya merupakan golongan minoritas di desa. Meski begitu, relasi antara keluarga saya dengan para tetangga terjalin harmonis. Kami saling menghormati satu sama lain. Itu merupakan rahmat yang saya syukuri karena di beberapa daerah di Indonesia, toleransi antar umat beragama masih sulit diwujudkan.
Ketika hari raya Natal dan Paskah tiba, beberapa tetangga yang beragama Muslim datang ke rumah kami untuk memberi ucapan selamat kepada keluarga saya. Ketika hari raya Idul Fitri, gantian keluarga saya yang berkeliling desa dan berkunjung ke beberapa rumah tetangga yang beragama Muslim. Ketika hari raya Idul Adha, keluarga saya pun mendapat kiriman daging kurban dari masjid dan mushola desa. Dengan begitu, tampak bahwa keluarga saya dapat membaur dengan baik dengan para warga desa yang mayoritas beragama Muslim.
Di tengah-tengah warga Muslim, keluarga saya tidak kehilangan ciri khas kekatolikannya yang selalu menjunjung nilai cinta kasih. Justru ini menjadi kesempatan bagi keluarga saya untuk menyebarkan benih-benih kebaikan seperti yang diajarkan dalam Injil Matius. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.”.[5] Keluarga saya dapat menjadi terang dan garam dunia dengan menjadi saksi Kristus yang menghidupi nilai-nilai kekatolikan dan mewujudkan imannya dalam hidup keseharian di tengah masyarakat yang majemuk.
Iman menuntun umat beriman untuk melihat orang lain sebagai saudara laki-laki atau saudara perempuan yang harus didukung dan dicintai.[6] Dengan mengedepankan persaudaraan sejati, Gereja berusaha menghadirkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat dunia yang majemuk. Perbedaan suku, bangsa, sosial, politik, budaya, dan agama bukanlah penghalang untuk membangun persaudaraan.[7]
4. Lingkungan IV St. Sesilia, Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Kebumen
Dalam beraktivitas, tentu saja keluarga saya tidak hanya menjalin relasi dengan warga desa saya saja, namun juga dengan seluruh umat Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Kebumen. Berdasarkan pembagian wilayah paroki, rumah saya berada di Lingkungan IV St. Sesilia. Lingkungan IV St. Sesilia memiliki area yang cukup luas namun jumlahnya umatnya termasuk yang paling sedikit dibandingkan dengan lingkungan-lingkungan yang lainnya. Umat yang aktif terlibat dalam kehidupan menggereja pun didominasi oleh para orang tua. Hal ini menjadi menjadi tantangan tersendiri bagi kami, warga Lingkungan IV St. Sesilia.
Bapak saya terpilih sebagai Ketua Lingkungan sejak beberapa periode yang lalu. Tidak adanya generasi muda yang terlibat aktif membuat bapak saya terus dipilih untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan di dalam lingkungan. Selain bertindak sebagai Ketua Lingkungan, bapak saya juga aktif sebagai prodiakon. 2 peran penting bapak inilah yang membuat saya juga turut aktif dalam berbagai kegiatan di lingkungan, seperti misa lingkungan, pendalaman iman, doa rosario, dan sembahyangan lainnya. Melalui kegiatan-kegiatan itulah, saya melihat dan merasakan kebersamaan sebagai suatu komunitas atau paguyuban umat Allah yang saling bersaudara.
Wajah Gereja tampak dalam kebersamaan para umatnya yang mengatasnamakan dirinya sebagai saudara dalam Kristus. Gereja sebagai paguyuban umat Allah menemukan dasarnya dalam hidup Gereja Perdana. Ketika itu, jemaat perdana menghayati dirinya sebagai Gereja Fraternitas atau Gereja Persaudaraan. Dalam hal ini, Kristus memiliki keterkaitan dengan semua umat yang dihimpunNya. Kristus tidak malu menyebut umatnya sebagai saudara.[8]
Sebagai prodiakon, sering kali bapak saya mengunjungi rumah umat yang sudah sepuh untuk mengantar hosti suci bagi mereka yang kesulitan untuk mengikuti misa di gereja. Saya biasa ikut menemani bapak dalam kegiatan ini. Dengan menemani bapak, saya menjadi tahu jika ternyata bapak saya tidak hanya membagikan hosti suci kepada umat sepuh, namun juga memimpin ibadat singkat dan memberi renungan kepada keluarga umat itu. Melalui kegiatan ini, tampak jelas bahwa seluruh umat Allah ikut ambil bagian dalam Tri Tugas Kritus sebagai Raja, Imam, dan Nabi, sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perutusannya.[9] Dalam peziarahan di dunia ini, Gereja dipanggil untuk melanjutkan karya misi perutusan Yesus Kristus untuk mewartakan karya keselamatan Allah.[10]
Di Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Kebumen, saya aktif dalam kelompok misdinar. Sebagai misdinar, saya merasa senang karena dapat duduk di dekat altar yang merupakan pusat dari gedung gereja. Melayani imam menjadi tugas pokok saya. Secara tidak langsung, saya merasa telah ikut ambil bagian dalam tugas Liturgia Gereja, meskipun hanya sekedar membantu saja. Sembari melayani imam, sering kali saya memperhatikan formula dan gerakan dalam liturgi ekaristi. Secara perlahan, daya tarik dari liturgi ekaristi menyapa saya hingga akhirnya saya memiliki keinginan untuk menjadi seorang imam. Namun, benih panggilan saya ketika itu masih sangatlah kecil hingga tertutup oleh oleh cita-cita saya yang lain. Tanpa saya sadari, benih panggilan itu ternyata terus tumbuh dalam diri saya hingga pada akhirnya saya mengatakan “ya” pada panggilan khusus itu.
5. Berpindah gereja, namun Tetap di Dalam Gereja
Sejak lahir hingga lulus TK, saya tinggal di Kutoarjo dan tercatat sebagai umat Paroki St. Yohanes Rasul, Kutoarjo. Paroki ini merupakan bagian dari Dekanat Timur, Keuskupan Purwokerto. Karena ketika itu saya masih berusia sangat dini, maka saya tidak memiliki banyak ingatan terkait dengan kehidupan menggereja di Paroki St. Yohanes Rasul, Kutoarjo. Sejak SD hingga SMP, saya tercatat sebagai umat Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Kebumen, karena keluarga saya pindah rumah dari Kutoarjo ke Kebumen. Paroki St. Yohanes Maria Vianney, Kebumen, berada di wilayah Dekanat Selatan, Keuskupan Purwokerto.
Perbedaan dekanat antara Paroki Kutoarjo dan Kebumen ini ternyata berdampak pada “orientasi” para OMK dalam menjalin relasi dengan OMK dari paroki lainnya. Di Dekanat Selatan, Keuskupan Purwokerto, para OMK di setiap paroki rutin mengkuti miskel[11] se-Dekanat Selatan. Melalui miskel itu, saya dan para OMK lainnya memiliki kesempatan untuk saling mengenal OMK dari paroki lainnya. Tak jarang melalui kegiatan ini, para OMK menemukan jodoh / pasangan mereka masing-masing. Karena Paroki Kutoarjo merupakan bagian dari Dekanat Timur, maka OMK Paroki Kebumen sangat jarang berelasi dengan para OMK Paroki Kutoarjo, kecuali relasi itu terjalin melalui hubungan sekolah Pius bakti Utama yang merupakan satu-satunya sekolah Katolik di Kebumen dan Kutoarjo.
Dari fenomena miskel ini, saya melihat paguyuban umat Allah yang secara internal berusaha setia melalui doa dan perayaan ekaristi bersama serta menghidupi keutamaan kerukunan.
Ketika kuliah di Yogyakarta, kosan saya masuk di wilayah Paroki St. Maria Assumpta, Babarsari. Paroki St. Maria Assumpta, Babarsari, merupakan bagian dari wilayah Keuskupan Agung Semarang. Dengan demikian, saya bukan hanya berpindah dekanat seperti yang saya alami ketika berpindah rumah dari Kutoarjo ke Kebumen, namun juga berpindah keuskupan. Meski begitu, saya melihat bahwa inti dari Gereja itu sendiri tetaplah sama, yaitu Yesus Kristus. Hal yang sama juga saya alami ketika saya bekerja di Jakarta dan aktif berkegiatan di Paroki Kristus Salvator, Slipi, Jakarta Barat. Paroki ini berada di wilayah Keuskupan Agung Jakarta, bukan lagi Semarang ataupun Purwokerto. Meski begitu, pusat dari Gereja di sini tetaplah Yesus Kristus.
Pengalaman ini memberi pemahaman kepada saya mengenai sifat Gereja yang satu. Dalam Kitab Suci, terlihat bahwa Gereja dibina oleh karya satu Allah (1 Korintus 8:6); berkat satu Wahyu dalam satu Tuhan Yesus Kristus yang telah disalibkan, wafat, bangkit, dan dimuliakan (Roma 14:7); dalam karya satu Roh Allah dan Roh Kristus (Efesus 2:18). Kesatuan ini dibuka dalam satu Injil, satu baptisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepada Petrus dan rasul-rasul yang lain.[12]
Jadi, menurut Kitab Suci, sifat gereja yang ‘satu’ ini merupakan sifat yang sudah selalu ada dan secara historis nyata dimiliki oleh Gereja karena tindakan kasih Allah yang Tunggal dan berlaku bagi semua umat manusia. Kesatuan ini diberikan kepada Gereja sebagai tanda kehadiran sumbernya yang tunggal pada saat ini. Maka dari itu, bentuk-bentuk persatuan dalam Gereja diwujudkan dengan satu dalam iman, satu dalam ibadat atau sakramen-sakramen, satu dalam hidup bersama, satu dalam pelayanan, serta satu dalam rumusan pewartaan iman.[13]
6. Amal Kasih para Suster Amal Kasih Darah Mulia (ADM)
Kehidupan menggereja saya tidak lepas dari campur tangan para suster / biarawati yang berkarya di Kutoarjo dan Kebumen. Hanya ada sebuah tarekat religius yang berkarya di Kutoarjo dan Kebumen, yaitu Suster ADM. Di Kutoarjo, para Suster ADM berkarya di bidang kesehatan dengan mendirikan RS. Palang Biru; dan juga di bidang pendidikan dengan mendirikan TK, SD, SMP, dan SMA Pius Bakti Utama. Sedangkan di Kebumen, para Suster ADM hanya berkarya di bidang pendidikan dengan mendirikan TK, SD, dan SMP Pius Bakti Utama.
Saya termasuk satu dari sekian banyak orang yang merasakan manfaat dari adanya karya-karya para Suster ADM di Kutoarjo dan Kebumen. Saya dilahirkan di RS. Palang Biru Kutoarjo dan bersekolah di TK Pius Kutoarjo, SD dan SMP Pius Kebumen, serta SMA Pius Bayan-Purworejo. Jika boleh berandai-andai, seandainya para Suster ADM juga membuka karya dalam bentuk universitas, mungkin saya juga akan melanjutkan pendidikan saya di universitas tersebut.
Karya-karya karitatif para Suster ADM yang ada di Kutoarjo dan Kebumen menjadi bukti nyata keterlibatan para tarekat religius dalam salah satu tugas Gereja, yaitu Diakonia. Dalam melaksanakan karya karitatif atau cinta kasihnya, para Suster ADM dijiwai oleh spiritualitas Yesus yang tersalib, yang mencurahkan darahNya sampai tetes terakhir di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Para Suster ADM menghayati bahwa dirinya merupakan orang-orang yang tertebus oleh darah Yesus. Dengan demikian, ada suatu “pemantik” untuk mencintai atau melayani atau membagikan cinta kepada banyak orang karena kesadaran bahwa dirinya telah terlebih dahulu dicintai.[14] Spiritualitas ini didasari oleh Surat Yohanes yang Pertama yang mengatakan bahwa “kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita”.[15] Sesuai dengan Namanya, Amal Kasih Darah Mulia, para Suster ADM terus mengamalkan cinta kasih Allah melalui karya karitatifnya.
7. Perjumpaan Pertama dengan Jesuit[16]
Selain Suster ADM, tarekat religius lain yang sangat berpengaruh dalam hidup beriman saya adalah Serikat Jesus. Perjumpaan pertama saya dengan Jesuit terjadi ketika saya menerima Sakramen Krisma. Seperti yang telah saya katakan di atas tadi, saya menerima Sakramen Krisma dari Mgr. Julianus Sunarka, SJ, yang ketika itu menjadi uskup Keuskupan Purwokerto.
Meskipun perjumpaan dengan Mgr. Julianus Sunarka, SJ hanya sebentar saja, namun perjumpaan singkat itu sangat berkesan bagi saya. Itulah pertama kalinya saya berada dekat dan berkontak fisik dengan pengganti rasul Kristus yang merupakan gembala umat bagi Keuskupan Purwokerto. Aura dan kharisma Mgr. Julianus Sunarka, SJ saya rasakan sangat berbeda jika dibandingkan para imam (biasa) lainnya. Sosoknya yang sederhana menjadi daya tarik tersendiri bagi saya.
Perjumpaan dengan Mgr. Julianus Sunarka, SJ secara langsung memberi pemahaman kepada saya akan adanya hierarki dalam Gereja yang terdiri dari para uskup, imam, dan diakon.[17] Pemahaman dasar saya ketika itu tentang hierarki ini adalah seorang uskup memiliki “jabatan” atau otoritas lebih besar dari seorang imam, dan seorang imam lebih besar daripada seorang daikon. Memang, dalam Gereja Katolik, otoritas utama terdiri dari para uskup. Para imam dan diakon bertugas sebagai asisten uskup dan rekan kerja.
8. Mengenal Jesuit Lebih Dekat
Setelah perjumpaan dengan Mgr. Julianus Sunarka, SJ ketika menerima Sakramen Krisma, saya tidak memiliki relasi lagi dengan Jesuit hingga saya bekerja di Jakarta. Ada rentang waktu yang cukup jauh untuk perjumpaan selanjutnya sebelum akhirnya saya menjadi bagian dari tubuh Serikat Jesus itu sendiri. Kali ini saya berjumpa dengan Rm. Antonius Sudiarja, SJ, yang merupakan teman bapak saya ketika bersekolah di Seminari Mertoyudan. Sekali lagi perjumpaan saya dengan Jesuit memberi suatu kesan tersendiri bagi saya. Sosok yang sederhana masih menjadi daya tarik bagi saya dari seorang Jesuit. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa pada akhirnya saya memilih untuk bergabung dengan tarekat religius ini. Perjumpaan dengan anggota tarekat religius menginspirasi saya untuk semakin terlibat dalam karya penyelamatan Allah dengan membaktikan hidup saya sepenuhnya kepadaNya.
Karena saya tertarik untuk bergabung menjadi Jesuit, saya pun mengikuti kegiatan prompang[18] Jesuit di Jakarta. Saya selalu bersemangat mengikuti rekoleksi bulanan yang merupakan rangkaian dari kegiatan prompang selama kurang lebih 1 tahun. Pada pertemuan (rekoleksi) pertama, jumlah peserta yang hadir ketika itu lebih dari 10 orang. Hingga rekoleksi terakhir, jumlah peserta yang masih setia tinggal tersisa 6 orang, 3 di antaranya diizinkan untuk masuk ke Novisiat St. Stanislaus Kostka, Girisonta, termasuk saya. Proses eleminasi, baik yang alami maupun tidak alami ini, mengingatkan saya akan penggalan Injil Matius yang mengatakan “sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.”.[19] Ketika merenungkan penggalan Injil itu, saya semakin merasa terkonfirmasi bahwa Allah telah memilih saya untuk ikut berpartisipasi aktif dalam karya penyelamatanNya. Semua umat Allah dipanggil untuk berpartisipasi aktif dalam karya penyelamatan Allah dengan kekhasannya masing-masing.
9. Bergabung Menjadi Jesuit
Ketika mengikuti prompang SJ, perlahan saya mulai mengenal spiritualitas Ignatian yang dijiwai oleh para Jesuit. Spiritualitas itu semakin saya dalami dan hayati ketika saya masuk Novisiat St. Stanilaus Kostka, Girisonta. Di tempat ini, kerohanian saya diolah secara khusus melalui Latihan Rohani. Ada banyak rahmat yang saya terima ketika menjalani Latihan Rohani, seperti kesadaran akan cinta kasih Allah yang saya alami melalui komunitas-komunitas saya sepanjang hidup. Dalam komunitas keluarga, desa, sekolah, dan paroki, saya sungguh merasa dicintai oleh setiap individu yang menjadi bagian dari komunitas itu.
Kesadaran bahwa saya telah dicintai oleh komunitas menggerakkan saya untuk juga membalas cinta itu. Dengan demikian, cinta terwujud dalam saling memberi dari kedua belah pihak.[20] Pihak yang mencintai akan memberi dan menyerahkan apa yang dimiliki kepada yang dicintai. Begitu pula sebaliknya, yang dicintai kepada yang mencintai. Hal itu saya wujudnyatakan dengan kesediaan saya untuk menjadi fasilitator Latihan Rohani Pemula (LRP) ketika saya menjadi skolastik Tingkat 1 di Jakarta.Motivasi saya menjadi fasilitator LRP adalah untuk membagikan rahmat yang saya terima ketika menjalani Latihan Rohani sehingga buah dari rahmat-rahmat itu semakin dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.
Ketika menjadi fasilitator LRP, saya dipercaya untuk mendampingi 5 peserta awam yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan seorang peserta berasal dari Sabah, Malaysia. Semua proses pendampingan dilakukan secara online melalui zoom. Melalui LRP yang menggunakan sarana zoom inilah Gereja juga dapat terbentuk. Dalam terbentuknya, Gereja tidak terbatas hanya di dunia real, namun juga di dunia digital. Itulah keunggulan Gereja yang dapat menyesuaikan perkembangan zaman. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, Gereja perlu membuat penyesuaian agar maknanya sebagai paguyuban umat Allah tetap ada. Modernisasi memang memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan umat beriman. Dalam hal ini, kita perlu mengedepankan diskresi agar pilihan tindakan kita tetap sesuai dengan kehendak Allah.
Hal yang paling mengesan bagi saya ketika menjadi fasilitator LRP adalah moment ketika mendengarkan pengalaman doa dan kehidupan dari masing-masing peserta. Saya terharu dengan keterbukaan dan kerendahhatian setiap anggota ketika berbagi pengalaman. Afeksi saya ikut terasah melalui kegiatan ini. Memang terkadang ada kelelahan batin ketika mengetahui bahwa beberapa peserta sedang mengalami desolasi. Namun di satu sisi, dengan mendengarkan dan masuk ke kedalaman hidup seseorang, saya memperoleh rahmat tersendiri dan mengalami konsolasi karena dapat mejumpai wajah Allah yang personal bagi setiap individu. Salah satu rahmat yang saya syukuri dari 5 peserta LRP yang saya dampingi ini adalah kesediaan mereka untuk saling mendukung dalam usaha berjumpa dengan Allah. Kami membentuk suatu komunitas baru yang berpusat kepada Kristus.
10. Kesimpulan: Arti Gereja Bagiku
Bagi saya, gereja merupakan suatu persekutuan umat beriman yang berasal dari Allah, dibentuk atas dasar Yesus Kristus, dan dijiwai oleh Roh Kudus. Saya tidak memandang Gereja hanya sebagai bangunan saja, melainkan melibatkan keseluruhan unsur-unsur yang terkandung dalam suatu wadah komunitas beserta kegiatan dan aktivitas di dalamnya. Gereja melibatkan unsur manusia beserta seluk-beluknya.
Secara pribadi, saya merasa terkesan dengan visi Keuskupan Purwokerto yang dalam bimbingan Roh Kudus bercita-cita menjadi paguyuban umat Allah yang beriman mendalam, tangguh, dan dialogal serta sejahtera demi terwujudnya persaudaraan sejati, kehidupan bersama yang bermartabat dan berkeadilan.
Saya mau mengutip apa yang tertulis dalam Arah Haluan Pastoral Keuskupan Purwokerto 2021-2035 yaitu jika beriman mendalam dan tangguh adalah gerak iman ke dalam, maka beriman dialogal adalah gerak iman keluar. Beriman sejatinya tidak membuat orang eksklusif, melainkan inklusif. Orang beriman diutus untuk bergerak keluar mewartakan kabar sukacita kepada semakin banyak orang. Iman yang dialogal menuntun seseorang mau dan mampu berjumpa dengan umat beriman lain untuk menjadi sahabat dan saudara di tengah perbedaan.
Di tengah masyarakat yang pluralis, Gereja diundang untuk bekerja sama dengan banyak orang, budaya, suku, agama dan bahasa (LG 16), juga bersama-sama dengan semua orang kristiani (LG 15). Gereja diundang untuk menemukan cara-cara baru mewujudkan persaudaraan Umat Allah yang dijiwai oleh semangat Kristus yang telah diutus Bapa. Gereja dipanggil untuk menjadi sakramen keselamatan dan diundang untuk menghantar banyak orang untuk bersatu dengan Allah (LG 1).
[3] Bdk. Arah Haluan Pastoral Keuskupan Purwokerto 2021 – 2025.
[4] Bdk. Arah Haluan Pastoral Keuskupan Purwokerto 2021-2035.
[5] Bdk. Matius 5:13-14.
[6] Bdk. Dokumen tentang Persaudaraan Manusia. Abu Dhabi, 4 Februari 2019.
[7] Bdk. Arah Haluan Pastoral Keuskupan Purwokerto 2021-2035.
[8] Bdk. Arah Haluan Pastoral Keuskupan Purwokerto 2021-2035.
[9] Lumen Gentium, art. 10.
[10] Lumen Gentium, art. 17.
[11] Miskel adalah singkatan dari misa keliling. Kegiatan ini merupakan sarana berkumpulnya para OMK se-Dekanat Selatan yang rutin diadakan setiap beberapa bulan sekali dengan pemilihan tempat (paroki) yang dilakukan secara bergilir.
[12] Bdk. Mardiatmadja, B. S., Ciri-Ciri Gereja, November 2021.
[13] Ibid.
[14] Sr. Melania, ADM, pesan suara kepada penulis, 16 Desember 2021.
[15] Bdk. 1 Yohanes 4:19.
[16] Jesuit adalah nama atau sebutan bagi anggota kelompok religius Serikat Jesus.
[17] Konsili Trente, 1563.
[18] Prompang merupakan singkatan dari promosi panggilan. Kegiatan ini merupakan sarana untuk mengolah panggilan hidup religius di tahap awal bagi mereka yang sudah lulus S1 atau bekerja.
[19] Bdk. Matius 22:14.
Kategori: PROMPANG