Image

KEBEBASAN YANG MEMERDEKAKAN

Sharing Panggilan Sebagai Seorang Formator ; oleh Sr. Theodora ADM

Allah telah menciptakan manusia baik adanya bahkan terbaik dari antara semua ciptaan. Allah tidak menciptakan manusia laki-laki sendiri. Karena Allah tidak tega. Ketidaktegaan itu kemudian membuat Allah jatuh hati kepada manusia pertama dengan menempatkan seorang perempuan disisi-Nya. Bagi Allah, perempuan dapat melengkapi keberadaan laki-laki. Allah menyediakan semuanya bagi mereka. Hanya satu yang Allah minta yaitu jangan mengambil buah yang ada pada pohon di tengah taman. Apakah manusia menaati perintah Allah? Tidak. Manusia yang ditempatkan Allah mencoba untuk mengambil atas dasar bujukan ular. Ketidakmampuan mengendalikan diri inilah yang kemudian membuat mereka jatuh dalam dosa. Padahal kisah penciptaan teramat unik dengan maksud manusia pertama memiliki sikap ketersalingan untuk melengkapi satu sama lain, saling melindungi, saling merawat dan saling menjaga. Namun kisah itu berubah dikala kepercayaan Allah kepada manusia disalahgunakan oleh manusia pertama karena ada keegoisan dalam diri ingin menyamai Allah. Kisah yang membuat manusia pertama saling menyalahkan satu sama lain. Kisah yang membuat hidup seolah-olah menderita.

Allah yang adalah kasih tidak menghukum manusia pertama, tetapi Allah mengklarifikasi siapa dan mengapa manusia pertama melakukan itu. Cara Allah menghukum manusia dengan menyuruh mereka pergi dari suasana kedamaian dan kebahagiaan. Namun Allah telah menyediakan tempat bagi manusia untuk mulai hidup dan menyadari bahwa relasi yang diberikan oleh Allah adalah relasi cinta yang sesungguhnya. Manusia sadar bahwa keinginan dan kecenderungan telah menjauhkan mereka dari Allah namun cinta Allah tidak pernah berubah. Allah selalu kreatif agar manusia tetap menjalin relasi denganNya kendati ia jatuh dalam dosa. Lalu pertanyaannya, apakah Allah kemudian meninggalkan atau memusnahkan manusia pertama? Tidak! Justru saat itulah Allah ingin menyelamatkan manusia yang dicipta-Nya dengan memberi kepadanya intelektual, rasa dan kehendak. Allah tetap mencintai dan menjalin hubungan yang personal dengan manusia. Karena Allah sangat mencintai ciptaan-Nya. Inilah bukti relasi perjumpaan. Cinta yang membuat Allah tetap menaruh kasih kepada yang dicipta-Nya. Maka Allah menghendaki agar manusia mempergunakan kebebasan cinta yang diberikan. Apakah manusia mempergunakan kebebasan itu dengan tanggungjawab? Ataukah mempergunakannya sesuai kehendaknya dengan menjadikan sesama sebagai objek dari kelemahan atau nafsu?

Berawal dari kisah itu, saya sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk seksual merasa dicintai dan diberkati oleh Allah. Saya disadarkan betapa Cinta-Nya yang luar biasa telah memanggil, memilih, membentuk dan menempatkan saya untuk berada ditengah-tengah teman seperjuangan atau lebih tepatnya di tengah para formandi yang memiliki keinginan dalam berkomitmen untuk mempersembahkan diri kepada Tuhan lewat kongregasi. Saya juga telah dipersiapkan oleh kongregasi. Kalau secara jujur untuk menjadi seorang formator tidaklah mudah. Saya harus mematikan ego dan berani juga untuk menjadi sahabat dan juga mungkin menjadi orang yang tidak disukai atau diterima oleh para formandi. Apalagi dihadapkan dengan zaman dan cara berpikir formandi saat ini. Bisa dikatakan zaman berbeda. Namun, saya berefleksi bahwa ini adalah salah satu tanggungjawab atas jawaban “Ya” saya untuk perutusan kongregasi. Bentuk ketaatan saya. Tetapi bukan itu saja, ini adalah panggilan dan sekaligus perutusan. Bentuk mengambil bagian dalam karya keselamatan, maka sebagai pribadi dan sebagai anggota kongregasi dan Gereja, saya menerima dan menjalankan perutusan di rumah formatio dasar dengan tulus dan sukacita. Saya merasa bahwa setiap hari pun saya selalu diformat bersama formandi. Menerima mereka sebagai titipan Tuhan yang begitu unik. Anugerah yang terindah. Mereka datang dengan memiliki sejuta cinta dan harapan untuk menjadi seorang biarawati. Ada berbagai macam motivasi yang mau mereka usahakan. Motivasi yang terutama adalah menjadi biarawati. Mereka mau belajar dari nol. Tentunya komitmen yang mereka buat dengan ‘tahu, sadar dan mau’ menjadikan mereka sebagai formandi yang siap di olah dan di bentuk. Sebelum mereka di bentuk, sebagai seorang formator tentunya harus mengenal siapa, apa, darimana, bagaimana dan mengapa mereka mau memilih hidup seperti ini. Mereka datang dengan membawa sejuta kisah yang tak dapat di hitung. Jika ditelusuri sejak dalam kandungan hingga saat mereka berada dalam rumah formatio, kisah hidup yang unik dan beragam.

Tentunya masing-masing formandi memiliki kisah yang unik dan luar biasa sejak dalam kandungan hingga saat ingin menentukan pilihan hidupnya. Keunikan kisah masing-masing formandi sangatlah berbeda satu dengan yang lain artinya punya makna tersendiri jika disadari. Ada kisah yang begitu menyenangkan, asyik, membahagiakan dan mendatangkan rahmat sukacita yang membentuk dirinya sebagai pribadi yang sangat terbuka dan happy. Tetapi ada juga kisah yang tidak menyenangkan sehingga dalam proses pembentukan sangatlah susah. Mereka butuh ruang dan waktu untuk menemukan dan meletakkan itu, bahwa hidup mereka dan diri mereka dimulai dari pengalaman dan peristiwa hidup. Jika dikisahkan tak akan ada ujungnya. Sebagai seorang formator yang dipercayakan oleh Kongregasi untuk mendampingi para formandi yang berlatarbelakang beraneka ragam, maka dituntut untuk menjadi teman, sahabat, ibu dan guru bagi mereka. Tidak mudah dan tidaklah sulit saat dijalankan. Seorang formator perlu mengasah ketajaman hati untuk sungguh mengenal formandi. Butuh telinga untuk mendengarkan dengan sungguh. Butuh sapaan yang hangat agar formandi merasa sungguh diterima apapun keadaan mereka. Butuh sentuhan yang dapat menguatkan dan memantapkan langkah mereka. Formator tidak dapat berjalan dan kuat untuk melangkah. Maka, formator perlu merawat hidup rohani dan bekerja bersama rahmat Tuhan yang berkarya melalui Roh Kudus. Formator perlu memahami empat aspek dalam diri formandi yaitu manusiawi, intelektual, pastoral dan spiritual. Formator yang sungguh masuk dalam dunia formandi memiliki satu keyakinan agar formandi menjadi orang yang bebas, yang mau menerima pengalaman masa lalu sebagai cambuk untuk dirinya. Formator menerima keadaan dan situasi mereka yang berbeda satu dengan yang lain khususnya dalam hal psikoseksual. Tak dapat dipungkiri bahwa ada banyak formandi yang memiliki kisah yang tidak atau kurang menyenangkan dalam hal seksual. Yang mana membuat mereka trauma. Bisa diapahami bahwa berbicara atau menyinggung tentang seksual masih ada yang merasa tidak nyaman. Bisa karena pemahaman, pelajaran di sekolah atau dilingkungan tempat mereka hidup khususnya dalam keluarga kurang atau bahkan terbuka dengan seksual. Berhadapan dengan kenyataan itu, tak disadari bahwa ada formandi yang menjadi korban. Ada yang beranggapan bahwa itu sangat tabu untuk dikatakan, hal biasa sesuai dengan zaman, ada yang merasa menjadi korban kekerasan atau pelampiasan orang-orang terdekat yang sebenarnya harus melindungi mereka. Namun kenyataan yang terjadi tidak demikian. Formandi yang harus tertatih-tatih untuk mengingat, mengangkat kembali pengalaman yang menyakitkan itu. Pengalaman yang seakan membuat dirinya sunggguh tak berharga. Pengalaman yang membuat dirinya harus kuat menghadapi sebuah kenyataan. Pengalaman yang menggoreskan luka yang begitu dalam. Pengalaman formandi yang menyimpan pergulatan selama bertahun-tahun dan tidak tahu harus bercerita ke siapa. Bahkan merasa bahwa tak ada orang atau tempat baginya untuk berlindung. Muncul ketakutan dengan pengalaman itu. Yang terjadi dalam proses pembentukan ia menjadi pribadi yang berusaha bahagia, namun sebenarnya dalam diri ada ketidakbebasan dalam berekspresi. Dalam pengolahan hidup sama sekali tidak ditemukan pengalaaman yang menyakitkan. Bisa saja formandi menyembunyikannya dengan rapat. Ada rasa tidak percaya lagi terhadap orang-orang terdekat. Baginya semua orang sama atau ketika dia menemukan ada figure tertentu lalu memproyeksi dengan pikirannya bahwa pasti sama. Namun tidak demikian, sebagai formator perlu kejelian dalam hal ini.

Allah bekerja dengan cara lain agar keterpurukan dalam diri formandi sedikit demi sedikit terbongkar. Berdasarkan pengalaman, bahwa seorang formator butuh kejelian dalam melihat, merasakan, mendengarkan dan mengikuti setiap proses pembentukan formandi. Kelelehan pasti dirasakan apalagi berhadapan dengan formandi yang bisa dikatakan sulit untuk memulai. Benar bahwa Tuhan tidak diam, pasti ada jalan untuk menemukan titik terang. Pada saat retret agung secara perlahan-lahan peristiwa demi peristiwa muncul. Kisah yang membuat luka dan sulit untuk disembuhkan. Kisah yang menorehkan banyak kegelisahan, kekuatiran dan ketidakpercayaan akan orang-orang terdekat, kisah yang membuat dirinya seolah-olah merasa tidak berharga di mata TUHAN dan juga sesama, kisah yang membuat dirinya tidak bahkan sulit untuk menerima dan menjalin relasi dengan lawan jenis. Seakan-akan hidupnya sangatlah menderita. Dan beranggapan kenapa Tuhan membiarkan hal yang tidak mengenakan ini menimpa dirinya? Apa salah saya? Dan berbagai macam pertanyaan. Lalu dalam proses pembentukan diri menjadi tersendat dan menjadi pribadi yang tidak bahagia. Apakah saya sebagai formator diam dan tidak melakukan apa-apa? Itulah yang menjadi perutusan dan pelayanan seorang formator ditengah formandi. Berat rasanya dari pihak formandi untuk menceritakan kisah sakit dari pengalaman masa lalu. Kisah yang sangat menyakitkan. Ada tahap tarik ulur dalam proses pengungkapan pengalaman itu. Disini saya merasa bahwa saatnya Tuhan menuntun saya untuk perlahan-lahan hadir sebagai pendengar yang setia dan sabar. Saya mencoba menyediakan hati dan telinga. Ada keengganan dalam diri saya saat pertama mengetahui situasi batin dan keadaan diri formandi. Dalam hati menangis dan bertanya seberapa kuatnya formandi menanggung rasa sakit itu selama bertahun-tahun? Bagaimana mungkin ia harus menanggung beban begitu berat? Mengapa orang-orang terdekat malah menjadi pelaku? Bukankah mereka harus melindungi dan menopang? Bagaimana situasi batinnya dalam menerima pengalaman pahit dan sakit? Berapa lama ia harus memikul beban sejak kejadian itu hingga berada dalam biara? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benak. Bisa dirasakan betapa sakitnya. Namun sekarang yang paling penting adalah membantu formandi untuk bisa keluar dari keterpurukan itu untuk menjadi manusia bebas dan merdeka. Memang untuk menghapus atau melupakan pengalaman pahit itu tidak akan tetapi setidaknya pengalaman itu bisa dijadikan pembelajaran bagi dirinya dan juga bagi sesama dikemudian hari apapun panggilan yang akan ia jalani. Baik dalam biara maupun di luar biara. Berproses bersama untuk menerima itu sebagai pengalaman yang sudah terjadi. Secara pribadi membutuhkan ketulusan hati dalam mendampingi. Bisa dikatakan ini bukan pekerjaan yang mudah karena mau tidak mau, suka atau tidak; sebagai formator harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup sehingga bisa mendampingi atau mencari solusi ketika dihadapkan dengan formandi.

Bagaimana sebagai seorang formator masuk secara perlahan-lahan untuk menemani, mendengarkan, menuntun hingga sampai pada titik mengangkat pengalaman masa lalu sebagai cara untuk bertransformasi. Untuk sampai pada titik itu sebagai formator tidak bisa bekerja sendiri. Membutuhkan orang lain yang sungguh berkompoten dibidang Psikologi. Selanjutnya apakah kehadiran formator diterima dengan hati dan tangan terbuka? Apakah formandi sungguh percaya? Ini adalah tantangan yang terbesar bagi saya. Ada pergulatan dalam diri untuk memulai. Karena bagi saya untuk menemukan dan mengangkat kembali luka lama formandi pasti terasa sakit yang amat dalam. Apalagi formandi bukan pribadi yang mudah terbuka. Ada tahap dimana dalam proses penyembuhan terjadi tarik ulur. Lalu siapa yang harus disalahkan? Pelan tapi pasti Tuhan selalu bekerja dan bekerja. Pergulatan baik dari pihak formandi maupun formator tentunya ada. Pada saat dalam proses formandi diminta untuk lebih membangun suasana yang nyaman dan terbuka, tidak perlu merasa bahwa dirinya tidak berharga. Justru ia berharga, maka Allah mencintainya dan membuktikan cinta-Nya.

Singkat kisah bahwa pengalaman pahit itu kemudian menjadikan dirinya lebih berpikir positif dan perlahan menerima, mengolah dan mau mengampuni peristiwa, pribadi-pribadi. Ada rasa syukur karena mengalami pembebasan. Awal terasa sakit namun pada akhirnya formandi menemukan bahwa IA SUNGGUH DICINTAI ALLAH, IA BERHARGA DIMATA ALLAH. Pengalaman dan peristiwa itu sudah terjadi. Sekarang ia harus memulai lembaran yang baru. Entah tetap menjadi seorang biarawati atau memilih hidup yang lain. Semuanya dapat digunakan untuk melayani Tuhan dan sesama.

IN NOMINE DOMINI




Berita Terkait

90 TAHUN MISI DI INDONESIA

Menjadi Saksi Penebusan Yang Komunikatif Dan Kolaboratif

YA BAPA YANG KEKAL

Redemisti nos Domine
in Sanguine Tuo.

prompangsusteradm@gmail.com
(0274) 562739

Jl. Abu Bakar Ali No.12, Kotabaru, Kec. Gondokusuman
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224